Tetanggaku Idolaku
Sebagai mahluk hidup, bagaimana
mungkin kita bertahan tanpa oksigen? Sebagai mahluk sosial, bagaimana mungkin
kita bertahan tanpa tetangga? Tetangga oh tetangga, kehadirannya
nyaris seperti oksigen yang seringkali tidak disadari, padahal
tanpanya kita bisa saja tak sanggup bertahan lebih lama.
Meskipun seringkali terabaikan, kata “tetangga” nampaknya punya nilai komersial tersendiri. Masih ingat salah satu lagu yang menggunakan kata “Selimut tetangga”? Mungkin masih ada lagu lain yang menggunakan kata tetangga, tapi lagu ini yang tertanam di ingatan karena keunikannya. Selimut tetangga itu buat apa? Entahlah. Tapi judulnya memang seperti itu. Selain menjadi bagian dari judul lagu yang unik tadi, beberapa ungkapan juga menggunakan kata ini, salah satunya “rumput tetangga selalu lebih hijau.” Tetangga oh tetangga, kapan rumput saya bisa lebih hijau?
Ada satu lagi ungkapan tentang tetangga yang juga familiar, "tetanggaku idolaku." Ungkapan ini biasanya merujuk pada mereka yang menjadikan tetangga sebagai pujaan hati. Sayangnya, saya belum punya
tetangga seperti Zayn Malik yang bisa dijadikan idola karena ketampanannya.
Tapi, bukan berarti saya tidak punya tetangga yang bisa dijadikan idola. Salah
satunya adalah Mega, teman main masa kecil yang boleh dibilang adalah sahabat pertama saya.
Mega berkulit putih pucat dengan rambut hitam
yang dipotong sebahu. Rumahnya tepat di depan rumah saya. Mungkin karena umurnya yang lebih tua dua tahun, saya bisa belajar banyak hal darinya. Pelajaran paling berkesan darinya adalah pelajaran mencuci
piring. Ya. Pengalaman mencuci piring pertama saya adalah bersama Mega. Waktu
itu, dia sudah duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar (SD). Sepulang sekolah,
dia kebagian tugas mencuci piring sebelum dibolehkan keluar rumah untuk
bermain. Demi mempercepat dimulainya waktu bermain, saya dengan suka rela
membantu Mega membilas piring-piring yang telah diberi sabun olehnya. Membantu Mega membilas piring, sama asyiknya dengan bermain air.
Selain Mega, ada juga Udin (saya
lupa namanya, tapi sebut saja Udin), tetangga masa kecil yang karenanya saya
bertemu dengan Nona (Bukan nama aslinya, tapi begitu kami memanggilnya). Udin
adalah anak angkat Nona, seorang wanita paruh baya berkebangsaan Jerman yang
fasih berbahasa Indonesia. Saya sudah duduk di bangku kelas satu SD saat Nona
mengunjungi Udin. Dalam beberapa hari kunjungannya, Nona sempat menginap di rumah
saya. Coba bayangkan kekaguman seorang anak kecil di pelosok Sulawesi yang
melihat bule untuk pertama kalinya. Masih
teringat jelas pesan Nona waktu itu. Katanya, kalau saya bisa berbahasa
inggris, saya bisa ke negara mana pun yang saya suka. Nona memberi bukti nyata,
dengan kemampuan bahasanya dia bisa menginjakkan kaki hingga ke ujung selatan
Sulawesi.
Saya harus berterima kasih pada
Mega, karenanya saya memiliki kenangan masa kecil yang tidak melulu tentang
permainan, tetapi juga tentang pelajaran kehidupan. Saya harus berterima kasih
pada Nona, karenanya saya termotivasi untuk terus belajar bahasa asing. Saya
juga harus berterima kasih pada Udin, karena dia telah menjadi jembatan
pertemuan dengan Nona.
Mega dan Udin hanya dua dari
begitu banyak tetangga istimewa yang telah mengajarkan banyak hal. Mungkin
disengaja, mungkin juga tidak. Disengaja atau tidak, tetap terima kasih !
Komentar
Posting Komentar