Bagaimana Cara Berpikir Positif?
"Saya ada satu pertanyaan. Tapi, pertanyaannya aneh." Kak Nunu
tersenyum lebar sambil menyondongkan badannya ke arahku.
"Iya, ini pertanyaannya aneh." Kak Evhy mengiyakan sambil tertawa
kecil.
"Apa pertanyaannya, Kak?"
"Bagaimana caranya berpikir positif?" Kak Evhy mengajukan
pertanyaan yang nampaknya sudah mereka bahas sebelum saya tiba di tempat itu.
"Banyak yang tanya ke saya soal itu, bagaimana cara berpikir positif?
Dan saya sepertinya harus menulis untuk menjawab ini." Kak Nunu
menjelaskan, kali ini sambil tertawa. Kak nunu terlihat bahagia membahas
rencananya itu. Tapi, dia memang selalu terlihat seperti itu.
Saya hanya terdiam, selama beberapa detik, bingung harus menjawab
apa.
"Iya sih kak, sepertinya memang harus ditulis. Saya juga mau menulis
tentang ini." Percakapan tentang pertanyaan aneh itu ditutup dengan
rencana untuk menuliskannya.
***
Bagaimana kalau sore itu, saat Kak Nunu
dan Kak Evhy menanyakan pertanyaan aneh jenis "Bagaimana cara berpikir
positif?" anda ada di tempat itu. Apa yang kira-kira akan anda jawab?
Sekilas, pertanyaan itu memang terdengar aneh. Setelah saya pikir-pikir, pertanyaannya
tidak benar-benar aneh. Kenapa? Karena berpikir positif pasti ada
caranya.
Berpikir positif biasanya tentang suatu peristiwa. Objek pikiran positif,
bisa pada pelakon dalam peristiwa tersebut, atau bisa juga pada peristiwa
itu sendiri. Sulit rasanya berdiskusi soal cara berpikir positif tanpa
contoh kasus. Karenanya, saya mencoba mengingat-ingat pengalaman saat saya
harus bisa berusaha berpikir positif.
Adakah yang bisa menebak bagaimana nasib genangan air di jalanan sore itu?
Ya, genangan air itu tentu saja terpercik ke arah pengendara lain di sisi
kanan dan kiri jalan, termasuk ke arahku. Kali ini, pengendara tadi lebih mirip
pengendali air di Avatar.
Kenyataannya, saya tidak tahu apakah tindakan orang tadi dilakukan dengan
sengaja atau tidak. Jadi, saya tidak bisa menilai tindakan tadi, hingga saya
punya asumsi tentang intensinya, sengaja atau tidak. Sekarang, saya harus
mengingat-ingat lagi asumsi saya tentang pengendara motor yang melaju
tadi.
Beberapa detik setelah kecipratan, saya melihat pengendara tadi melaju
semakin menjauh. Kecepatannya belum berubah. Lalu, saya menyadari satu hal,
orang itu tidak menggunakan mantel. Tiba-tiba saya berpikir "Oh, mungkin
karena tidak pakai mantel, makanya melaju seperti itu."
***
Pernah suatu sore, saya berkendara dengan scooter matic melewati
jalan Talasalapang yang tergenang air hujan. Ya, sore itu hujan. Dan, tentu
saja saya mengenakan mantel. Saya berkendara cukup pelan. Salah satunya, karena
air yang tergenang itu akan terpercik cukup tinggi jika dilewati kendaraan yang
melaju.
Perjalanan sore itu terasa baik-baik saja. Setidaknya, sebelum seorang
pengendara motor lain tiba-tiba melaju kencang di sisi kanan jalan. Bukan
kencang, tapi sangat kencang hingga dia nyaris terlihat seperti Super Sonic
yang mampu melaju melebihi kecepatan suara.
Jika saja ada orang lain yang bisa mendengar argumentasi di dalam kepala
saya saat itu, mereka pasti akan setuju. Melaju kencang melewati genangan air
di jalan, dengan sengaja, saat ada pengendara lain tepat di wilayah genangan
itu, tidak bisa dikatakan sopan. Kita semua tahu apa yang akan terjadi dengan
genangan air itu dan juga apa yang akan terjadi pengendara lain di tempat itu.
Dan, karena saya juga berada di tempat itu, tentu saja saya kesal. Saya bisa
saja ikhlas jika harus basah karena air hujan. Tapi, tidak dengan kasus seperti
tadi, saya harus basah karena terciprat air berwarna kecokelatan bercampur
pasir.
***
Dari cerita di atas, saya membocorkan apa
yang saya pikirkan saat itu. Jadi, menurut teman-teman, apa itu sudah termasuk
pikiran positif? Ataukah termasuk pikiran negatif? Kalau menurut saya,
itu bukan pikiran positif, juga bukan pikiran negatif.
Dari cerita tadi, hanya ada gambaran
tentang reaksi terhadap apa yang terjadi. Ada seorang yang melaju melewati
genangan air, saya kecipratan air yang tergenang, dan reaksi saya adalah kesal.
Jika dilakukan dengan sengaja, maka tindakan itu tidak bisa
dikategorikan sopan. Sekali lagi, jika dilakukan dengan sengaja.
***
Dua menit berikutnya, saya berbelok ke
arah Jalan Jipang Raya, dan tiba-tiba terpikir satu hal lagi "Oh, mungkin
dia sedang terburu-buru, mungkin istrinya akan melahirkan, atau mungkin ada
masalah lain." Hal ini menjadi asumsi terakhir yang saya pikirkan, sekaligus
menjadi asumsi penutup masalah kecipratan sore itu.
***
![]() |
Source: Getty Images |
Bagaimana pikiran seperti
itu tiba-tiba muncul? Jawabannya, karena saya bertanya, tentu saja bertanya
pada diri sendiri, lalu mencoba menjawabnya sendiri.
Sambil berharap tidak ada setetes pun air
cipratan tadi mendarat di wajah, saya bertanya, apakah orang itu sengaja melaju
agar pengendara lain terciprat air? Tadi, orang itu tidak memakai mantel, mungkin dia hanya berusaha agar tiba di rumah secepat mungkin. Intinya, dia tidak sengaja.
Tapi, karena dia laki-laki, saya pikir tidak perlu takut basah, dan tidak perlu
melaju secepat itu. Berkendara tanpa mantel dibawah hujan sore itu, secepat
apapun, tetap saja akan basah. Kalau memang takut basah, kenapa tidak berteduh saja?
Apa kedua kemungkinan tadi yang kita sebut
pikiran positif? Kalau iya, berarti kita sudah berhasil memecahkan satu cara
berpikir positif, yaitu dengan bertanya dan memikirkan beberapa kemungkinan
jawaban berdasarkan hasil observasi.
Kenapa harus berdasarkan observasi atau
pengamatan? Ya, karena, jika asumsi yang kita bangun tidak berdasarkan
pengamatan, asumsinya menjadi terlalu subjektif. Lagi pula, pengamatan yang
berbeda tentu akan menghasilkan asumsi yang berbeda. Kalau saja tadi yang
terlihat adalah seseorang yang melaju dengan mantel, asumsi pertama tentu akan
menjadi berbeda.
Saya masih mencoba menebak, adakah hal
lain yang membuat dia terpaksa tak acuh dengan kehadiran pengendara lain di
tempat itu? Dari berita yang pernah saya lihat di media, juga dari cerita
beberapa teman, satu hal yang mungkin adalah istrinya akan segera melahirkan.
Ya, asumsi ini memang terkesan terlalu mengada-ada. Tapi, memang itulah yang
bisa terpikir sore itu. Jika teman-teman menolak menerima asumsi kedua,
teman-teman boleh memilih asumsi pertama. Menurut saya, keduanya sama saja,
hanya kemungkinan.
Berpikir positif itu lebih dari sekedar
mengajukan pertanyaan, mengamati, mempertimbangkan beberapa kemungkinan
jawaban, lalu menyimpulkan. Oke, saya tahu, ini jadi terlihat seperti
langkah-langkah metode ilmiah dalam penelitian sains. Tapi, memang harusnya
seperti itu, kan? Berpikir positif berarti berusaha membuat kesimpulan terhadap
suatu peristiwa dengan hati-hati, dengan didahului beberapa pengamatan.
***
Jika berpikir positif itu sebuah Kota,
maka dia seperti Roma. Kenapa? Karena ada banyak cara untuk menujunya. Kali
ini, saya hanya terpikir satu cara. Tapi, itu satu cara yang terlihat panjang.
Kenyataannya, kita selalu bisa memilih satu cara sederhana untuk berpikir
positif. Apa itu? Yaitu, dengan membiasakan diri melihat sisi baik dari setiap
peristiwa. Seperti saat hujan turun, kita bisa memilih untuk bersedih karena
jalan-jalan tergenang, atau berbahagia karena saat hujan adalah salah satu
waktu baik untuk berdoa.
Wuoww Jadi semangat nulis lagii ~
BalasHapusMenarik kak. Contohnya sederhana dan asumsinya sederhana. Dan setelah baca saya mikir mikir. Kayaknya pernah juha mengalami seperti ini. Dan asumsinya sama haha. Pernah mikir asumsinya kalau bukan buru buru istrinya melahirkan, mungkin orang itu butuh toilet. Hahah
Nice post kak! Saya share ke orang yang menanyakannya ya kak. Thank youuu sudah menuliskannyaa. :)
hahaaa.. soal yang istrinya melahirkan, mungkin kita semacam korban adegan di sinetron sinetron kaak :D
HapusSiap, terima kasih kak nunu :)